PESONA HATI
Terkadang untuk tidak DIAM itu adalah EMAS bagi Orang Lain
BERANI - AMANAH - PROFESIONAL
SELAMAT DATANG DI BLOG WONG CHERBON
Wejangan
"Berbuatlah Untuk Duniamu Seakan Kau Akan Hidup Selamanya Dan Berbuatlah Untuk Akheratmu Seakan Kau AKan Mati Besok".
Kamis, Mei 22, 2014
Pengertian Shalat Dhuha …
berikut difinisi dan pengertian sholat dhuha :Shalat Dhuha adalah shalat sunah yang dilakukan setelah terbit matahari sampai menjelang masuk waktu zhuhur. Afdhalnya dilakukan pada pagi hari disaat matahari sedang naik ( kira-kira jam 9.00 ).Shalat Dhuha lebih dikenal dengan shalat sunah untuk memohon rizki dari Allah, berdasarkan hadits Nabi : ” Allah berfirman : “Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat pada waktu permulaan siang ( Shalat Dhuha ) niscaya pasti akan Aku cukupkan kebutuhanmu pada akhir harinya “ (HR.Hakim dan Thabrani). (majelismunajat.com)
Manfaat Sholat Dhuha …
Pertama, shalat Dhuha merupakan ekspresi terima kasih kita kepada Allah Swt. atas nikmat sehat bugarnya setiap sendi dalam tubuh kita. Menurut Rasulullah Saw., setiap sendi dalam tubuh kita yang jumlahnya 360 ruas setiap harinya harus diberi sedekah sebagai makanannya.
“Pada setiap manusia diciptakan 360 persendian dan seharusnya orang yang bersangkutan (pemilik sendi) bersedekah untuk setiap sendinya.”
Lalu, para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah Saw., siapa yang sanggup melakukannya?” Rasulullah Saw. menjelaskan, “Membersihkan kotoran yang ada di masjid atau menyingkirkan sesuatu (yang dapat mencelakakan orang) dari jalan raya, apabila ia tidak mampu maka shalat Dhuha dua rakaat dapat menggantikannya.” (H.R. Ahmad dan Abu Daud)
Kedua, shalat Dhuha merupakan wahana pengharapan kita akan rahmat dan nikmat Allah Swt. sepanjang hari yang akan dilalui, entah berupa nikmat fisik maupun materi.
Rasulullah Saw. bersabda, “Allah berfirman, ‘Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas melakukan shalat empat rakaat pada pagi hari, yaitu shalat Dhuha, niscaya nanti akan Kucukupi kebutuhanmu hingga sore harinya.’” (H.R. Al-Hakim dan At-Tabrani)
Lebih dari itu, momen shalat Dhuha merupakan saat kita mengisi kembali semangat hidup baru. Kita berharap semoga hari yang akan kita lalui menjadi hari yang lebih baik dari hari kemarin. Di sinilah ruang kita menanam optimisme hidup. Kita tidak sendiri menjalani hidup ini. Ada Sang Maharahman yang senantiasa akan menemani kita dalam menjalani hidup sehari-hari.
Ketiga, shalat Dhuha sebagai pelindung untuk menangkal siksa api neraka di hari pembalasan (kiamat) nanti. Hal ini ditegaskan Nabi Saw. dalam haditsnya,
“Barangsiapa melakukan shalat Fajar, kemudian ia tetap duduk di tempat shalatnya sambil berdzikir hingga matahari terbit dan kemudian ia melaksanakan shalat Dhuha sebanyak dua rakaat, niscaya Allah Swt. akan mengharamkan api neraka untuk menyentuh atau membakar tubuhnya.” (H.R. Al-Baihaqi)
Keempat, bagi orang yang merutinkan shalat Dhuha, niscaya Allah mengganjarnya dengan balasan surga. Rasulullah Saw. bersabda, “Di dalam surga terdapat pintu yang bernama Bab Adh-Dhuha (Pintu Dhuha) dan pada hari kiamat nanti ada yang akan memanggil, ‘Dimana orang yang senantiasa mengerjakan shalat Dhuha? Ini pintu kamu, masuklah dengan kasih sayang Allah.’” (H.R. At-Tabrani)
Kelima, pahala shalat Dhuha setara dengan pahala ibadah haji dan umrah. “Dari Abu Umamah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci untuk melaksanakan shalat wajib, maka pahalanya seperti seorang yang melaksanakan haji. Barangsiapa yang keluar untuk melaksanakan shalat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang melaksanakan umrah.’” (Shahih Al-Targhib: 673)
Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan bahwa, “Nabi Saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang mengerjakan shalat Fajar (Shubuh) berjamaah, kemudian ia (setelah usai) duduk mengingat Allah hingga terbit matahari, lalu ia shalat dua rakaat (Dhuha), ia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah; sempurna, sempurna, sempurna.’” (Shahih Al-Jami: 6346)
Keenam, tercukupinya kebutuhan hidup. Orang yang gemar melaksanakan shalat Dhuha ikhlas karena Allah akan tercukupi rezekinya. Hal ini dijelaskan Rasulullah Saw. dalam hadits qudsi dari Abu Darda. Firman-Nya, “Wahai Anak Adam, rukuklah (shalatlah) karena aku pada awal siang (shalat Dhuha) empat rakaat, maka aku akan mencukupi (kebutuhan)mu sampai sore hari.” (H.R. Tirmidzi)
Ketujuh, memperoleh ghanimah (keuntungan) yang besar. Dikisahkan, Rasulullah mengutus pasukan muslim berperang melawan musuh Allah. Atas kehendak Allah, peperangan pun dimenangkan dan pasukan tersebut mendapat harta rampasan yang berlimpah.
Orang-orang pun ramai membicarakan singkatnya peperangan yang dimenangkan dan banyaknya harta rampasan perang yang diperoleh. Kemudian Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa ada yang lebih utama dan lebih baik dari mudahnya memperoleh kemenangan dan harta rampasan yang banyak yaitu shalat Dhuha.
“Dari Abdullah bin Amr bin Ash ia berkata, Rasulullah Saw. mengirim pasukan perang. Lalu, pasukan itu mendapat harta rampasan perang yang banyak dan cepat kembali (dari medan perang). Orang-orang pun (ramai) memperbincangkan cepat selesainya perang, banyaknya harta rampasan, dan cepat kembalinya mereka.
Maka, Rasulullah Saw. bersabda, ‘Maukah aku tunjukan kepada kalian sesuatu yang lebih cepat dari selesai perangnya, lebih banyak (memperoleh) harta rampasan, dan cepatnya kembali (dari medan perang)? (Yaitu) orang yang berwudhu kemudian menuju masjid untuk mengerjakan shalat sunat Dhuha. Dialah yang lebih cepat selesai perangnya, lebih banyak (memperoleh) harta rampasan, dan lebih cepat kembalinya.’” (H.R. Ahmad)
Cara Melaksanakan Sholat Dhuha …
-Niat didalam hati berbarengan dengan Takbiratul Ihram
“Usholli sunnatadhuha rak ‘ataini mustaqbilal qiblati ada al lillaahi ta’aala”
“Usholli sunnatadhuha rak ‘ataini mustaqbilal qiblati ada al lillaahi ta’aala”
“Aku niat shalat sunah Dhuha 2 rakaat karena Allah”
-Membaca doa Iftitah
-Membaca surat al Fatihah
-Membaca satu surat didalam Al-Quran. Afdholnya rakaat pertama surat Asy-Syams dan rakaat kedua surat Al-Lail
-Ruku’ dan membaca tasbih tiga kali
-I’tidal dan membaca bacaanya
- Sujud pertama dan membaca tasbih tiga kali
-Duduk diantara dua sujud dan membaca bacaannya
- Sujud kedua dan membaca tasbih tiga kali
- Setelah rakaat pertama selesai, lakukan rakaat kedua sebagaimana cara diatas, kemudian Tasyahhud akhir setelah selesai maka membaca salam dua kali.
-Membaca surat al Fatihah
-Membaca satu surat didalam Al-Quran. Afdholnya rakaat pertama surat Asy-Syams dan rakaat kedua surat Al-Lail
-Ruku’ dan membaca tasbih tiga kali
-I’tidal dan membaca bacaanya
- Sujud pertama dan membaca tasbih tiga kali
-Duduk diantara dua sujud dan membaca bacaannya
- Sujud kedua dan membaca tasbih tiga kali
- Setelah rakaat pertama selesai, lakukan rakaat kedua sebagaimana cara diatas, kemudian Tasyahhud akhir setelah selesai maka membaca salam dua kali.
Doa Setelah Sholat Dhuha …
doa tentunya tidak cuma apa yang dibatasi dalam teks, justru kami menganjurkan kalau berdoa lebih diperbanyak dengan bahasa lisan dan hati. karena Allah maha mengetahui seluruh dan semua bahasa, bahkan bahasa hati sekalipun. namun pada umumnya dalam sholat dhuha ada beberapa anjuran doa diantarnya yang populer sebagai berikut :Do’a setelah Shalat Dhuha :

“Allahumma innadh dhuha-a dhuha-uka, wal bahaa-a bahaa-uka, wal jamaala jamaaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrata qudratuka, wal ishmata ishmatuka. allahuma inkaana rizqi fis samma-i fa anzilhu, wa inkaana fil ardhi fa-akhrijhu, wa inkaana mu’asaran fayassirhu, wainkaana haraaman fathahhirhu, wa inkaana ba’idan fa qaribhu, bihaqqiduhaa-ika wa bahaaika, wa jamaalika wa quwwatika wa qudratika, aatini maa ataita ‘ibaadakash shalihin”Artinya:Ya Allah, sesungguhnya masa pagi ini adalah masa pagiMU, keindahan ini adalah keindahanMU, kuasa ini adalah kekuasaanMU, kenyamanan ini adalah kenyamananMU. Seandainya rizki saya tersembunyi di dalam bumi maka keluarkanlah, jika di langit turunkanlah, jika haram bersihkanlah, berkat kesejatian masa pagiMU, keindahanMU, dan kekuasaanMU, ya Allah.
Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya sempurnalah semua kebaikan.
Barakallahufikum ….
Semoga Bermanfaat.
Senin, Juli 29, 2013
Ramadhan & Lailatul Qadar #3: Awas, malam genap juga Lailatul Qadar!
Dalam makalah sebelum ini, kita telah mengkaji hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan untuk mencari lailatu qadar pada malam-malam ganjil dalam sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Hadits-hadits tersebut menjelaskan bahwa lailatul qadar pada zaman Nabi SAW pernah atau sangat mungkin terjadi pada malam 21, 23, 25, 27, atau 29 Ramadhan. Dalam makalah kali ini, kita akan mengjaji hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan untuk mencari lailalatul qadar pada malam-malam genap dalam sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.Jangan kaget! Sangat mungkin lailatul qadar terjadi pada malam-malam yang genap dalam sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Lailatul qadar sangat mungkin terjadi pada malam ke-22, 24, 26, 28, atau 30 Ramadhan. Dengan begitu, kita tidak boleh memburunya pada malam-malam ganjil belaka. Kesungguhan dalam melaksanakan shalat tarawih, witir, tadarus Al-Qur’an, doa, dzikir, istighfar, dan amal-amal shalih lainnya di malam yang genap tetap harus dijaga. Berikut ini dalil-dalil yang menegaskan hal ini.
Hadits Pertama
عَنْ مُعَاوِيَةَ بنِ أَبي سُفيانَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم : «التَمِسُوا لَيْلَةَ القَدْرِ في آخِرِ لَيْلَةٍ»
Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan RA berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Carilah lailatul qadar pada malam terakhir Ramadhan!” (HR. Muhammad bin Nashr Al-Marwazi dalam kitab Ash-Shalat dan Ibnu Khuzaimah no. 2189. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1471 dan Shahih Jami’ Shaghir no. 1238)
Dalam kitab shahihnya, imam Ibnu Khuzaimah menempatkan hadits ini di bawah judul ‘Bab perintah mencari lailatul qadar pada malam terakhir Ramadhan, karena boleh jadi pada sebagian tahun lailatul qadar terjadi pada malam tersebut’.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Ramadhan terkadang terdiri dari 29 hari dan terkadang 30 hari. Dengan demikian, hari terakhir terkadang adalah hari ke-30. Nabi SAW memerintahkan umatnya untuk mencari lailatul qadar pada malam terakhir Ramadhan. Sehingga, terkadang lailatul qadar terjadi pada malamke-30 Ramadhan.
Hadits Kedua
عَنْ عُيَيْنَةَ بنِ عَبدِالرَّحمنِ قَالَ: حَدَّثَني أَبي قَالَ: «ذُكِرَتْ لَيْلَةُ القَدْرِ عِنْدَ أَبي بَكْرَةَ فَقالَ: مَا أَنا مُلْتَمِسُهَا لِشَيءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم إِلا في الْعَشْرِ الأَواخِرِ فَإِني سَمِعْتُهُ يَقولُ: التَمِسُوهَا في تِسْعٍ يَبْقينَ، أَو في سَبْعٍ يَبْقينَ، أَو في خَمْسٍ يَبْقينَ أَو في ثَلاثٍ، أَو آخِرِ لَيْلَةٍ، قَالَ: وكَانَ أَبُو بَكْرَةَ يُصَلِّي في العِشْرينَ مِنْ رَمَضَانَ كَصَلاتِهِ في سَائِرِ السَّنَةِ فَإِذَا دَخَلَ العَشْرُ اجْتَهَدَ»
Dari Uyainah bin Abdurrahman berkata: Ayahku (Abdurrahman bin Jausyan Al-Ghathafani–edt) bercerita, “Disebutkan kepada Abu Bakrah RA tentang lailatul qadar, maka ia berkata: “Aku tidak akan mencarinya kecuali pada waktu yang aku dengar penjelasannya dari Rasulullah SAW, yaitu pada sepuluh malam terakhir Ramadhan. Aku mendengar beliau SAW bersabda, “Carilah lailatul qadar pada sembilan malam yang tersisa, atau tujuh malam yang tersisa, atau lima malam yang tersisa, atau tiga malam yang tersisa, atau pada malam terakhir!” Pada dua puluh malam pertama bulan Ramadhan, shalat malam Abu Bakrah adalah seperti shalat malamnya pada waktu lain sepanjang tahun. Namun pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, ia lebih bersungguh-sungguh lagi dalam beribadah. (HR. Ath-Thayalisi no. 881, Ahmad,5/39, At-Tirmidzi no. 794, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3403, Al-Bazzar no. 3681, dan Ath-Thabarani dalam Musnad Asy-Syamiyyin no. 1119. At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih)
Hadits ketiga
Al-Qur’an pertama kali diturunkan dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia pada malam lailatul qadar. Nabi SAW menjelaskan bahwa peristiwa itu terjadi pada malam genap, yaitu malam ke-24 Ramadhan.
عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الأَسْقَع رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيم فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَتْ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ ، وَالإِنْجِيلُ لِثَلاثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَ الْقُرْآنُ لأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ
Dari Watsilah bin Al-Asqa’ RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama Ramadhan, Taurat diturunkan pada malam keenam Ramadhan, Injil diturunkan pada malam ketiga belas Ramadhan, dan Al-Qur’an diturunkan pada malam kedua puluh empat Ramadhan.” (HR. Ahmad no. 16370, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Muhammad bin Nashr Al-Marwazi, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabarani, dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Hadits keempat
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ مِنْ رَمَضَانَ يَلْتَمِسُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ قَبْلَ أَنْ تُبَانَ لَهُ ، فَلَمَّا انْقَضَيْنَ أَمَرَ بِالْبِنَاءِ فَقُوِّضَ ، ثُمَّ أُبِينَتْ لَهُ أَنَّهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَأَمَرَ بِالْبِنَاءِ فَأُعِيدَ ، ثُمَّ خَرَجَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهَا كَانَتْ أُبِينَتْ لِي لَيْلَةُ الْقَدْرِ وَإِنِّي خَرَجْتُ لأُخْبِرَكُمْ بِهَا فَجَاءَ رَجُلانِ يَحْتَقَّانِ مَعَهُمَا الشَّيْطَانُ فَنُسِّيتُهَا ، فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ الْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ .
قَالَ قُلْتُ : يَا أَبَا سَعِيدٍ إِنَّكُمْ أَعْلَمُ بِالْعَدَدِ مِنَّا ، قَالَ : أَجَلْ نَحْنُ أَحَقُّ بِذَلِكَ مِنْكُمْ ، قَالَ قُلْتُ : مَا التَّاسِعَةُ وَالسَّابِعَةُ وَالْخَامِسَةُ ؟
قَالَ : إِذَا مَضَتْ وَاحِدَةٌ وَعِشْرُونَ فَالَّتِي تَلِيهَا ثِنْتَيْنِ وَعِشْرِينَ وَهِيَ التَّاسِعَةُ فَإِذَا مَضَتْ ثَلاثٌ وَعِشْرُونَ فَالَّتِي تَلِيهَا السَّابِعَةُ فَإِذَا مَضَى خَمْسٌ وَعِشْرُونَ فَالَّتِي تَلِيهَا الْخَامِسَةُ )) .
Dari Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata: “Rasulullah SAW melakukan I’tikaf pada sepuluh hari pertengahan Ramadhan untuk mencari lailatul qadar sebelum dijelaskan kepada beliau berdasar wahyu. Ketika sepuluh hari pertengahan Ramadhan telah selesai, beliau SAW memerintahkan agar tenda beliau dibongkar, maka tenda itu dibongkar. Lalu dijelaskan kepada beliau (berdasar wahyu) bahwa lailatul qadar terjadi pada sepuluh malam yang terakhir, maka beliau memerintahkan untuk ditegakkan tenda kembali.
Beliau lantas menemui para sahabat dan bersabda, “Wahai orang-orang, sungguh telah dijelaskan kepadaku lailatul qadar dan aku keluar dari tenda untuk memberitahukannya kepada kalian. Namun ada dua orang yang bertengkar disertai oleh setan, sehingga aku terlupakan dari lailatul qadar. Maka carilah lailatl qadar pada sepuluh malam yang terakhir! Carilah ia pada malam ke-9 atau ke-7 atau ke-5!”
Abu Nadhrah (tabi’in perawi hadits) bertanya kepada Abu Sa’id Al-Khudri RA: “Wahai Abu Sa’id, kalian (generasi sahabat) lebih mengetahui bilangan daripada kami (generasi tabi’in).”
Abu Sa’id menjawab, “Tentu saja, kami lebih mengetahuinya daripada kalian.”
Abu Nadhrah bertanya, “Apakah maksud malam ke-9, ke-7, dank e-5 itu?”
Abu Sa’id menjawab, “Jika malam ke-21 telah terjadi, maka malam berikutnya adalah malam ke-22. Itulah maksud dari malam ke-9. Jika malam ke-23 telah terjadi (maka malam berikutnya adalah malam ke-24—edt), itulah maksud dari malam ke-7. Jika malam ke-25 telah terjadi (maka malam berikutnya adalah malam ke-25—edt), ituah maksud dari malam ke-5.” (HR. Muslim no. 1996 dan Ahmad no. 10654)
Inilah penafsiran dari Abu Sa’id Al-Khudri RA bahwa lailatul qadar terjadi pada malam-malam genap. Abu Sa’id Al-Khudri juga merupakan perawi hadits yang menjelaskan lailatul qadar terjadi pada malam ke-21 sebagaimana telah dijelaskan dalam makalah sebelumnya. Hal ini menguatkan kemungkinan bahwa lailatul qadar bisa saja terjadi pada malam genap.
Hadits kelima
(( عن ابْن عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هِيَ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ هِيَ فِي تِسْعٍ يَمْضِينَ أَوْ فِي سَبْعٍ يَبْقَيْنَ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ ؛ وَعَنْ خَالِدٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ : الْتَمِسُوا فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ ))
Dari Ibnu Abbas RA berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Lailatul qadar terjadi pada sepuluh malam yang terakhir, yaitu setelah sembilan malam berlalu atau pada tujuh malam yang tersisa.” Dari Khalid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata: “Carilah lailatul qadar pada malam kedua puluh empat!” (HR. Bukhari no. 2024, Abu Daud no. 1173, dan Ahmad no. 1948)
Hadits keenam
عَنْ بِلالٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ
Dari Bilal RA bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Lailatul qadar adalah malam kedua puluh empat.” (HR. Ahmad no. 2765 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 1/360. Imam Al-Haitsami dalam Majmauz Zawaid, 3/176, menyatakan hadits ini hasan)
Hadits ketujuh
(( عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ : صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنْ الشَّهْرِ حَتَّى إِذَا كَانَ لَيْلَةُ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ قَامَ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى كَادَ أَنْ يَذْهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ، فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الَّتِي تَلِيهَا لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتْ لَيْلَةُ سِتٍّ وَعِشْرِينَ قَامَ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى كَادَ أَنْ يَذْهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ ، قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ قَالَ لا إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الَّتِي تَلِيهَا لَمْ يَقُمْ بِنَا ، فَلَمَّا أَنْ كَانَتْ لَيْلَةُ ثَمَانٍ وَعِشْرِينَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهْلَهُ وَاجْتَمَعَ لَهُ النَّاسُ فَصَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى كَادَ يَفُوتُنَا الْفَلاحُ ، قَالَ قُلْتُ : وَمَا الْفَلاحُ ؟ قَالَ : السُّحُورُ ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا يَا ابْنَ أَخِي شَيْئًا مِنْ الشَّهْرِ ))
Dari Jubair bin Nufair dari Abu Dzar Al-Ghifari RA berkata: “Kami melakukan shaum Ramadhan bersama Rasulullah SAW. Sejak awal Ramadhan beliau belum pernah melakukan shalat malam (tarawih dan witir) berjama’ah dengan kami. Pada malam kedua puluh empat, Rasulullah SAW mengimami kami shalat malam sampai hampir sepertiga malam pertama berlalu. Pada malam berikutnya, beliau SAW tidak melakukan shalat malam bersama kami. Pada malam kedua puluh enam, beliau SAW melakukan shalat malam berjama’ah dengan kami sehingga hampir setengah malam berlalu.
Aku (Abu Dzar RA) bertanya, “Wahai Rasulullah, apa tidak sebaiknya Anda menghabiskan sisa malam ini dengan shalat malam bersama kami?”
Beliau SAW menjawab, “Tidak perlu. Jika seseorang telah melakukan shalat malam bersama imam sampai imam selesai, maka dicatat baginya telah shalat semalam suntuk.”
Pada malam berikutnya, beliau tidak melakukan shalat malam bersama kami. PAda malam kedua puluh delapan, beliau SAW mengumpulkan seluruh keluarganya dan orang-orang juga berkumpul. Maka pada malam itu beliau kembali melakukan shalat malam (semalam suntuk—edt) sampai kami hampir kehilangan waktu kemenangan.”
Jubair bin Nufair bertanya, “Apakah waktu kemenangan itu?”
Abu Dzar menjawab, “Yaitu makan sahur. Wahai anak saudaraku, setelah itu sampai akhir bulan Ramadhan, beliau tidak melakukan shalat malam bersama kami lagi.”
(HR. Ahmad no. 20450. Sanadnya shahih)
Hadits ini diriwayatkan dengan lafal yang lebih ringkas oleh An-Nasai dan lainnya sebagai berikut,
(( صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ نَحْوٌ مِنْ ثُلُثِ اللَّيْلِ ، ثُمَّ كَانَتْ سَادِسَةٌ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا ، فَلَمَّا كَانَتْ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ نَحْوٌ مِنْ شَطْرِ اللَّيْلِ ، قُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ ، قَالَ : إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ، قَالَ ثُمَّ كَانَتْ الرَّابِعَةُ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا ، فَلَمَّا بَقِيَ ثُلاثٌ مِنْ الشَّهْرِ أَرْسَلَ إِلَى بَنَاتِهِ وَنِسَائِهِ وَحَشَدَ النَّاسَ فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلاحُ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنْ الشَّهْرِ ))
“Kami melakukan shaum Ramadhan bersama Rasulullah SAW. Selama itu, beliau SAW tidak mengimami kami shalat malam. Sampai akhirnya tersisa tujuh hari, maka beliau mengimami kami shalat malam sehingga berlalu waktu sepertiga malam. Lalu tersisa enam hari, namun beliau tidak mengimami kami shalat malam. Ketika malam kelima dari malam yang terakhir, beliau mengimami kami shalat sehingga berlalu setengah waktu malam. Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya Anda mengimami kami semalam suntuk pada malam ini?” Beliau menjawab, “Jika seseorang melakukan shalat malam bersama imam sampai imam selesai, maka telah dicatat baginya shalat satu malam suntuk.”
Lalu datanglah malam keempat dari malam yang terakhir, beliau tidak mengimami kami shalat malam. Ketika tiba tiga malam terakhir, beliau menyuruh anak-anak perempuan dan istri-istri beliau (untuk berkumpul shalat malam). Beliau juga mengerahkan masyarakat (untuk shalat malam). Maka beliau mengimami kami shalat malam sampai kami khawatir luput dari kemenangan (makan sahur). Setelah itu sampai akhir bulan, beliau tidak mengimami shalat malam lagi.” (HR. An-Nasai no. 1347, At-Tirmidzi no. 734, Abu Daud no. 1167, Ibnu Majah no. 1317, dan Ad-Darimi no. 1713. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasai)
Kesungguhan Rasulullah SAW mengimami shalat tarawih dan witir sampai sepertiga malam (pada malam ke-24), setengah malam (pada malam ke-26), dan semalam suntuk (pada malam ke-28) dengan mengumpulkan anak, istri, dan masyarakat ini merupakan sebuah isyarat bahwa pada malam-malam tersebut sangat mungkin terjadi lailatul qadar.
Jadi, tidak ada alasan untuk bersantai dan libur dari melakukan amal shalih di malam-malam genap. Siapa tahu, lailatul qadar mala mini justru terjadi di malam genap yang kita remehkan?
Wallahu a’lam bish-shawab
Sabtu, Mei 04, 2013
zaenalmustaqim.com
JIWA HEWANI DAN JIWA RUHANI
JIWA HEWANI DAN JIWA RUHANI
“Orang yang memercayai Al-Quran dan Sunah sudah tidak asing lagi dengan
konsep nikmat surga dan siksa neraka yang menanti di akhirat. Namun,
ada hal penting yang sering mereka luputkan, yakni bahwa ada surga
ruhani dan neraka ruhani.
Mengenai surga ruhani, Allah Swt berfirman kepada Nabi-Nya, “Tak pernah
dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan takpernah terlintas dalam
hati manusia, itulah nikmat yang disiapkan bagi orang yang bertakwa.”
Betapa berbedanya Jiwa manusia dari jasad dan segenap anggotanya.
Setiap anggota tubuh bisa rusak dan berhenti bekerja, tetapi kemandirian
jiwa tak terusik. Kemudian, tubuh manusia juga akan mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Tubuhnya di waktu bayi jauh berbeda
dengan tubuhnya di masa tua.
Namun, kepribadian manusia tetap
sama, dulu maupun sekarang. Jadi, bisa dikatakan bahwa jiwa akan terus
ada menyertai sifat-sifat esensialnya yang tak bergantung pada tubuh,
seperti pengetahuan dan cinta kepada Allah. Inilah makna ayat Al-Quran,
“Segala yang baik akan abadi.”
Seperti juga pengetahuan, kebodohan pun akan abadi menyertai jiwa.
Jadi, jika kau lebih memilih kebodohan ketimbang pengetahuan tentang
Allah maka kebodohan itu akan menyertaimu di akhirat dalam wujud
kegelapan jiwa dan penderitaan. Keadaan itulah yang dimaksudkan
Al-Quran:
“Orang yang buta di dunia ini akan buta di akhirat dan tersesat dari jalan yang lurus.”
Mengapa jiwa manusia cenderung untuk kembali ke dunia yang lebih
tinggi? Sebab, ia berasal dari sana dan pada dasarnya ia bersifat
malakut.
Ia dikirim ke dunia yang lebih rendah ini berlawanan
dengan kehendaknya untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman,
sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran, “Turunlah dari sini kamu
semuanya, akan datang kepadamu perintah-perintah dari-Ku dan siapa yang
mentaatinya tidak perlu takut dan tak perlu gelisah.”
Dan
ayat Al-Quran, “Aku tiupkan ke dalam diri manusia ruh-Ku,” juga
menunjukkan asal samawi jiwa manusia. Jiwa hewani akan tetap sehat
selama keseimbangan bagian-bagian yang menyusunnya terjaga. Jika
keseimbangan itu terusik, obat-obatan dapat memulihkannya. Begitu juga
dengan jiwa ruhani, ia akan tetap sehat selama keseimbangan moralnya
terjaga dengan menjalankan tuntunan etika dan ajaran moral.”
--Imam Al-Ghazali dalam Kimiya As-Sa’adah
CARA FATIMAH AZ ZAHRA MEMINTA MAAF KEPADA SUAMINYA
Ketaatan Fatimah Az Zahra kepada suaminya Sayyidina Ali menyebabkan
Allah subhanahu wa ta`ala mengangkat darajatnya. Fatimah Az Zahra tidak
pernah mengeluh dengan kekurangan dan kemiskinan keluarga mereka. Tidak
juga dia meminta-minta hingga menyusah-nyusahkan suaminya. Meski begitu,
kemiskinan tidak menghalangi Fatimah Az Zahra untuk selalu bersedekah.
Dia tidak sanggup untuk kenyang sendiri apabila ada orang lain yang
kelaparan. Dia tidak rela hidup senang dikala orang lain menderita.
Bahkan dia tidak pernah membiarkan pengemis melangkah dari pintu
rumahnya tanpa memberikan sesuatu meskipun dirinya sendiri sering
kelaparan.
Pernah suatu hari, Fatimah Az Zahra telah membuat Ali
terusik hati dengan kata-katanya. Menyadari kesalahannya, Fatimah Az
Zahra segera meminta maaf berulang-ulang kali.
Melihat air muka suaminya tidak juga berubah, maka Fatimah Az Zahra
berlari-lari seperti anak kecil mengelilingi Ali. Tujuh puluh kali dia
‘tawaf’ sambil merayu-rayu mohon untuk dimaafkan. Melihat tingkah laku
Fatimah Az Zahra itu, tersenyumlah Ali dan lantas memaafkan isterinya
itu.
“Wahai Fatimah, kalaulah dikala itu engkau mati sedangkan
suamimu Ali tidak memaafkanmu, niscaya aku tidak akan menyolatkankan
jenazahmu,” Rasulullah sollallahu `alaihi wasallam memberi nasihat
kepada puterinya itu saat perkara ini sampai ke telinga Nabi SAW.
Begitulah yang ditetapkan Allah SWT mengenai kedudukan suami sebagai
pemimpin bagi seorang isteri. Betapa seorang isteri itu perlu
berhati-hati di saat berhadapan dengan suami. Apa yang dilakukan Fatimah
Az Zahra itu bukanlah suatu kesengajaan. Semoga kita bisa mengambil
hikmah dari kisah agung ini.
Sabtu, April 06, 2013
Cara Halal Memuaskan Suami Ketika Istri Haid
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Ada seribu cara untuk memuaskan suami ketika istri sedang haid. Karena islam tidak menghukumi fisik wanita haid sebagai benda najis yang selayaknya dijauhi, sebagaimana praktek yang dilakukan orang yahudi. Anas bin Malik menceritakan,
أن اليهود كانوا إذا حاضت المرأة فيهم لم يؤاكلوها ولم يجامعوهن في البيوت فسأل الصحابة النبي صلى الله عليه وسلم فأنزل الله تعالى : ويسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض…
Sesungguhnya orang yahudi, ketika istri mereka mengalami haid, mereka tidak mau makan bersama istrinya dan tidak mau tinggal bersama istrinya dalam satu rumah. Para sahabatpun bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. kemudian Allah menurunkan ayat, yang artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu kotoran, karena itu hindari wanita di bagian tempat keluarnya darah haid…” (HR. Muslim 302).
Dengan demikian, suami masih bisa melakukan apapun ketika istri haid, selain yang Allah larang dalam Al-quran, yaitu melakukan hubungan intim.
3 Macam Interaksi Intim Suami dan Istri Ketika Haid
Ada 3 macam interaksi intim antara suami & istri ketika haid:Pertama, interaksi dalam bentuk hubungan intim ketika haid. Perbuatan ini haram dengan sepakat ulama, berdasarkan firman Allah,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى
يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ
اللَّهُ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu
adalah suatu kotoran”. Karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri. (QS. Al-Baqarah: 222)Orang yang melanggar larangan ini, wajib bertaubat kepada Allah, dan membayar kaffarah, berupa sedekah satu atau setengah dinar. Keterangan tentang ini bisa anda simak di: Hukum Berhubungan Badan setelah Haid Berhenti tetapi Belum Mandi Wajib
Kedua, interaksi dalam bentuk bermesraan dan bercumbu selain di daerah antara pusar sampai lutut istri ketika haid. Interaksi semacam ini hukumnya halal dengan sepakat ulama. A’isyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حِضْتُ يَأْمُرُنِي أَنْ أَتَّزِرَ، ثُمَّ يُبَاشِرُنِي
Apabila saya haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyuruhku untuk memakai sarung kemudian beliau bercumbu denganku. (HR.
Ahmad 25563, Turmudzi 132 dan dinilai shahih oleh Al-Albani).Hal yang sama juga disampaikan oleh Maimunah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَاشِرُ نِسَاءَهُ فَوْقَ الْإِزَارِ وَهُنَّ حُيَّضٌ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercumbu dengan istrinya di daerah di atas sarung, ketika mereka sedang haid. (HR. Muslim 294)Ketiga, interaksi dalam bentuk bermesraan dan bercumbu di semua tubuh istri selain hubungan intim dan anal seks. Interaksi semacam ini diperselisihkan ulama.
1. Imam Abu Hanifah, Malik, dan As-Syafii berpendapat bahwa perbuatan semacam ini hukumnya haram. Dalil mereka adalah praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana keterangan A’isyah dan Maimunah.
2. Imam Ahmad, dan beberapa ulama hanafiyah, malikiyah dan syafiiyah berpendapat bahwa itu dibolehkan. Dan pendapat inilah yang dikuatkan An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (3/205).
Diantara dalil yang mendukung pendapat kedua adalah
a. Firman Allah
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu
adalah suatu kotoran”. Karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
Al-Mahidh..”Ibn Utsaimin mengatakan,
Makna Al-Mahidh mencakup masa haid atau tempat keluarnya haid. Dan tempat keluarnya haid adalah kamaluan. Selama masa haid, melakukan hubungan intim hukumnya haram. (As-Syarhul Mumthi’, 1/477)
Ibn Qudamah mengatakan,
فتخصيصه موضع الدم بالاعتزال دليل على إباحته فيما عداه
Ketika Allah hanya memerintahkan untuk menjauhi tempat keluarnya
darah, ini dalil bahwa selain itu, hukumnya boleh. (Al-Mughni, 1/243)b. Hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ketika para sahabat menanyakan tentang istri mereka pada saat haid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ
“Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri kalian) kecuali nikah.” (HR. Muslim 302).Ketika menjelaskan hadis ini, At-Thibi mengatakan,
إِنَّ الْمُرَادَ بِالنِّكَاحِ الْجِمَاعُ
“Makna kata ‘nikah’ dalam hadis ini adalah hubungan intim.” (Aunul ma’bud, 1/302)Hubungan intim disebut dengan nikah, karena nikah merupakan sebab utama dihalalkannya hunungan intim.
c. Disebutkan dalam riwayat lain, bahwa terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan praktek yang berbeda seperti di atas.
Diriwayatkan dari Ikrimah, dari beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أراد من الحائض شيئا ألقى على فرجها ثوبا
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak melakukan hubungan intim dengan istrinya yang sedang haid, beliau menyuruhnya untuk memasang pembalut ke kemaluan istrinya.” (HR. Abu Daud 272 dan Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan: Sanadnya kuat).Onani Bukan Solusi
Memahami hal ini, selayaknya suami tidak perlu risau ketika istrinya haid. Dan jangan sekali-kali melakukan onani tanpa bantuan tubuh istri. Mengeluarkan mani dengan selain tubuh istri adalah perbuatan yang terlarang, sebagaimana firman Allah ketika menyebutkan kriteria orang mukmin yang beruntung,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ( ) إِلَّا
عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ
مَلُومِينَ ( ) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْعَادُونَ
Orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik
itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Mukminun: 5 – 7)Diantara sifat mukminin yang beruntung adalah orang yang selalu menjaga kemaluannya dan tidak menyalurkannya, selain kepada istri dan budak wanita. Artinya, selama suami menggunakan tubuh istri untuk mencapai klimaks syahwat, maka tidak dinilai tercela. Berbeda dengan “orang yang mencari selain itu”, baik berzina dengan wanita lain, atau menggunakan bantuan selain istri untuk mencapai klimaks (baca: onani), Allah sebut perbuatan orang ini sebagai tindakan melampaui batas.
Allahu a’lam
Berhubungan Badan setelah Haid Berhenti, tetapi Belum Mandi Wajib
Bismillah.
Melakukan hubungan dengan istri yang sedang haid di tempat keluarnya darah haid adalah perbuatan yang haram. Berdasarkan firman Allah,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ
قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ
حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu kotoran. Karena itu, jauhilah wanita di tempat keluarnya darah haid (kemaluan). Janganlah kalian mendekatinya (jima’) sampai dia suci. Apabila dia (istrimu) telah mandi maka datangilah dia dari tempat sesuai dengan yang Allah perintahkan ….’” (Q.S. Al-Baqarah:222)Barang siapa yang melakukannya maka dia wajib bertobat dan membayar kafarah berupa sedekah dengan satu atau setengah dinar. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah, yang dinilai sahih oleh Al-Albani; dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa orang yang mendatangi istrinya ketika haid bersedekah satu dinar atau setengahnya.
Tentang jumlah dinar yang pasti untuk dikeluarkan, apakah satu ataukah setengah, ini dilihat dari masa haid ketika orang ini melakukan hubungan. Ketika seseorang melakukan hubungan pada saat darah masih deras maka dia bersedekah satu dinar. Akan tetapi, jika hubungan itu terjadi ketika darah yang keluar tidak terlalu banyak maka dia bersedekah setengah dinar.
Adapun orang yang melakukan hubungan dengan istri setelah putus darah haid, namun belum mandi, pendapat yang kuat: hukumnya terlarang dan pelakunya berdosa. Pendapat ini berdasarkan firman Allah di atas, yang artinya, “Janganlah kalian mendekatinya (jima’) sampai dia suci. Apabila dia (istrimu) telah mandi maka datangilah dia ….”
Allah belum mengizinkan seseorang untuk melakukan hubungan dengan istri yang haid, sampai dia mandi. Karena itu, pelakunya harus bertobat dan membayar kafarah dengan sedekah setengah dinar.
Catatan: satu dinar senilai 4,25 gram emas. (Disimpulkan dari Fatwa Islam: Tanya-Jawab, di bawah bimbingan Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Munajjid)
Allahu a’lam.
Rabu, September 19, 2012
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, ku
litnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al Qur’an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit. Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa’at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa’at sejumlah qobilah Robi’ah dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya. Dia adalah “Uwais al-Qarni”. Ia tak dikenal banyak orang dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya.
Seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata : “Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”. Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya. Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran.
Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam. Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum.
Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya. Di ceritakan ketika terjadi perang Uhud Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, sekalipun ia belum pernah melihatnya.
Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditinggalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa.
Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata: “Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam yang selama ini dirindukannya.
Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah radhiallahu anha, sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”.
Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah radhiallahu anha untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan melangkah pulang dengan perasaan haru.
Sepulangnya dari perang, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, sayyidatina ‘Aisyah radhiallahu anha dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi sayyidatina ‘Aisyah radhiallahu anha, memang benar ada yang mencari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Sesudah itu beliau Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, memandang kepada sayyidina Ali radhiallahu anhu dan sayyidina Umar radhiallahu anhu dan bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.
Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam wafat, hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu anhu telah di estafetkan Khalifah Umar radhiallahu anhu.
Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada sayyidina Ali radhiallahu anhu untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qarni, apakah ia turut bersama mereka. Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka.
Suatu ketika, Uwais al-Qarni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar radhiallahu anhu dan sayyidina Ali radhiallahu anhu mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qarni. Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar radhiallahu anhu dan sayyidina Ali radhiallahu anhu memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam Memang benar ! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais. Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?
”Uwais kemudian berkata: “Nama saya Uwais al-Qarni”. Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu.
Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali radhiallahu anhu memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah: “Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”. Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qarni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar radhiallahu anhu berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi. Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya. Tapi ada seorang lelaki pernah bertemu dan di tolong oleh Uwais, waktu itu kami sedang berada di atas kapal menuju tanah Arab bersama para pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus dengan kencang. Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami sehingga air laut masuk ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat.
Pada saat itu, kami melihat seorang laki-laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi, lalu kami memanggilnya. Lelaki itu keluar dari kapal dan melakukan sholat di atas air. Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu.“Wahai waliyullah,” Tolonglah kami !” tetapi lelaki itu tidak menoleh. Lalu kami berseru lagi,” Demi Dzat yang telah memberimu kekuatan beribadah, tolonglah kami!” Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata: “Apa yang terjadi ?” “Tidakkah engkau melihat bahwa kapal dihembus angin dan dihantam ombak ?”tanya kami. “Dekatkanlah diri kalian pada Allah ! ”katanya. “Kami telah melakukannya.” “Keluarlah kalian dari kapal dengan membaca bismillaahirrohmaanirrohii m!”
Kami pun keluar dari kapal satu persatu dan berkumpul di dekat itu.
Pada saat itu jumlah kami lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami
semua tidak tenggelam, sedangkan perahu kami berikut isinya tenggelam ke
dasar laut. Lalu orang itu berkata pada kami ,”Tak apalah harta kalian
menjadi korban asalkan kalian semua selamat”.“Demi Allah, kami ingin
tahu, siapakah nama Tuan ? ”Tanya kami. “Uwais al-Qorni”. Jawabnya
dengan singkat. Kemudian kami berkata lagi kepadanya, ”Sesungguhnya
harta yang ada di kapal tersebut adalah milik orang-orang fakir di
Madinah yang dikirim oleh orang Mesir.” “Jika Allah mengembalikan harta
kalian. Apakah kalian akan membagi-bagikannya kepada orang-orang fakir
di Madinah?” tanyanya.“Ya,”jawab kami. Orang itu pun melaksanakan sholat
dua rakaat di atas air, lalu berdo’a. Setelah Uwais al-Qorni mengucap
salam, tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami
menumpanginya dan meneruskan perjalanan.
Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal. Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qarni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.
Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, “ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar radhiallahu anhu)Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya : “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qarni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qarni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi menjadi terkenal di langit.
Subhanallah !
semoga bermanfaat.......
Pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, ku
litnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al Qur’an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit. Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa’at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa’at sejumlah qobilah Robi’ah dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya. Dia adalah “Uwais al-Qarni”. Ia tak dikenal banyak orang dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya.
Seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata : “Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”. Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya. Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran.
Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam. Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum.
Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya. Di ceritakan ketika terjadi perang Uhud Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, sekalipun ia belum pernah melihatnya.
Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditinggalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa.
Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata: “Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam yang selama ini dirindukannya.
Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah radhiallahu anha, sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”.
Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah radhiallahu anha untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan melangkah pulang dengan perasaan haru.
Sepulangnya dari perang, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, sayyidatina ‘Aisyah radhiallahu anha dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi sayyidatina ‘Aisyah radhiallahu anha, memang benar ada yang mencari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Sesudah itu beliau Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, memandang kepada sayyidina Ali radhiallahu anhu dan sayyidina Umar radhiallahu anhu dan bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.
Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam wafat, hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu anhu telah di estafetkan Khalifah Umar radhiallahu anhu.
Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada sayyidina Ali radhiallahu anhu untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qarni, apakah ia turut bersama mereka. Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka.
Suatu ketika, Uwais al-Qarni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar radhiallahu anhu dan sayyidina Ali radhiallahu anhu mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qarni. Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar radhiallahu anhu dan sayyidina Ali radhiallahu anhu memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam Memang benar ! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais. Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?
”Uwais kemudian berkata: “Nama saya Uwais al-Qarni”. Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu.
Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali radhiallahu anhu memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah: “Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”. Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qarni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar radhiallahu anhu berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi. Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya. Tapi ada seorang lelaki pernah bertemu dan di tolong oleh Uwais, waktu itu kami sedang berada di atas kapal menuju tanah Arab bersama para pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus dengan kencang. Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami sehingga air laut masuk ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat.
Pada saat itu, kami melihat seorang laki-laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi, lalu kami memanggilnya. Lelaki itu keluar dari kapal dan melakukan sholat di atas air. Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu.“Wahai waliyullah,” Tolonglah kami !” tetapi lelaki itu tidak menoleh. Lalu kami berseru lagi,” Demi Dzat yang telah memberimu kekuatan beribadah, tolonglah kami!” Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata: “Apa yang terjadi ?” “Tidakkah engkau melihat bahwa kapal dihembus angin dan dihantam ombak ?”tanya kami. “Dekatkanlah diri kalian pada Allah ! ”katanya. “Kami telah melakukannya.” “Keluarlah kalian dari kapal dengan membaca bismillaahirrohmaanirrohii
Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal. Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qarni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.
Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, “ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar radhiallahu anhu)Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya : “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qarni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qarni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi menjadi terkenal di langit.
Subhanallah !
semoga bermanfaat.......
Keutamaan Mendidik Anak Perempuan
Keutamaan Mendidik Anak Perempuan
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa mengasuh dua orang anak perempuan sehingga berumur baligh, maka dia akan datang pada hari Kiamat kelak, sedang aku dan dirinya seperti ini.” Dan beliau menghimpun kedua jarinya.” [HR. Muslim]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
“Ada seorang wanita yang masuk menemuiku dengan membawa dua orang anak perempuan untuk meminta-minta, tetapi aku tidak mempunyai apa-apa kecuali hanya satu butir kurma. Lalu aku memberikan kurma itu kepadanya. Selanjutnya, wanita itu membagi satu butir kurma itu untuk kedua anak perempuannya sedang dia sendiri tidak ikut memakannya. Lantas, wanita itu bangkit dan keluar. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada kami, maka aku ceritakan peristiwa itu kepada beliau, maka beliau pun berkata, ‘Barangsiapa yang diuji dengan anak-anak perempuan, lalu dia mengasuhnya dengan baik, maka anak-anak perempuan itu akan menjadi tirai pemisah dari api Neraka." [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
An-Nawawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab Syarh Muslim (V/ 485), “Disebut ibtilaa’ (ujian), karena biasanya orang-orang tidak menyukainya.
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.’ [An-Nahl: 58]
Lebih lanjut, an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits-hadits ini terdapat keutamaan berbuat baik kepada anak-anak perempuan, memberikan nafkah kepada mereka, bersabar dalam mengasuhnya, dan mengurus seluruh urusannya.”
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa memiliki tiga orang anak perempuan, lalu dia bersabar dalam menghadapinya serta memberikan pakaian kepadanya dari hasil usahanya, maka anak-anak itu akan menjadi dinding pemisah baginya dari siksa Neraka.” [HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Adaabul Mufrad dan hadits ini shahih]
Mengenai hak wanita, Allah Ta’ala berfirman:
"…Dan jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." [An-Nisaa': 19]
Demikian juga pada anak-anak perempuan. Tidak jarang seorang hamba mendapatkan kebaikan yang sangat banyak di dunia dan akhirat dari anak-anak perempuan. Dan cukuplah sebagai keburukan, orang yang tidak menyenangi mereka bahwasanya ia benci pada apa yang diridhai dan diberikan Allah kepada hamba-Nya.
[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
Senin, April 23, 2012
SUBHANALLAH
Subhanallah, Anak Ini Hafal Alquran Tanpa Diajari
Sharifuddin
Khalifa boleh dibilang anak ajaib. Anak yang terlahir di Tanzania,
Afrika Timur pada Desember 1993 itu berasal dari keluarga Katholik.
Namun, pada usia 1,5 tahun, Khalifa sudah hafal 30 juz Alquran dan
shalat lima kali sehari.
Subhanallah, ia mampu menghafal
Al-Qur'an tanpa ada orang yang mengajarinya. Awalnya, kedua orangtua
Khalifa mengira anaknya dikuasai setan.
Namun, tetangganya yang Muslim
memahami apa yang diucapkan anak ajaib itu. Akhirnya, kedua orangtuanya
menyadari bahwa putranya adalah tanda kebesaran Sang Khalik. Kedua
orangtuanya pun memeluk Islam.
Meski berbahasa ibu Swahili,
Khalifa mampu berbicara dan berpidato dalam bahasa Arab, Inggris,
Prancis, dan Italia tanpa belajar. Pada usia empat hingga lima tahun, ia
sudah berkeliling Afrika dan Eropa untuk berceramah dan mengajar.
Berkat dakwaahnya, ribuan orang
memeluk Islam. Di Kenya, Afrika sebanyak 1.000 orang berduyun-duyun
bersyahadat setelah mendengar ceramahnya.
Minggu, April 22, 2012
Rizqi Urusan Allah azza wajalla
Seorang petani bercerita tentang kejadian aneh yang dia lihat.
“ketika di hari panen gandum, saya pergi ke sawah.
Sesampainya di sawah saya melihat seekor lebah terbang di atas kumpulan
gandum yang habis dipanen, tak lama kemudian saya melihat lebah tersebut
mengambil biji gandum kemudian terbang kembali. Saya berkata kepada
diri sendiri kenapa lebah mengambil biji gandum, bukankah lebah tidak
memakan gandum??. Karena lebah tidak terbang dengan cepat saya mengikuti
kemana lebah tersebut pergi, ternyata lebah terseut pergi ke bangunan
rusak yang tak jauh dari sawah. Sesampainya saya di bangunan tersebut
saya melihat lebah pergi menghampiri burung yang buta yang tidak bisa
terbang. Dengan suara kepakan sayap lebah, si burung membuka paruhnya
dan si lebah meletakkan biji gandum tersebut di dalam paruh burung.”
Rizki seluruh makhluk Allah swt telah tertulis
disisiNya, dan rizki tersebut pasti akan sampai kepada yang berhak.
Kalau ada rizki belum sampai kepada hamba Allah swt walaupun satu suapan
nasi, maka hamba tersbut tidak akan mati sampai satu suapan tersebut
dimakannya.
Manusia sudah terjamin rizkinya, baik dia kerja atau
tidak kerja. Islam selalu mengajarkan kita untuk menjalankan pekerjaan
yang mulia. Rizki kita akan sampai kepada kita, dan tidak ada satu
makhlukpun yang bisa menggagalkannya. Kalau manusia bekerja dengan cara
halal maka dia akan mendapatkan rizkinya dengan halal dan dengan
kemuliaan disisi Allah swt, kalau dia bekerja dengan cara yang dilarang
agama, maka dia akan mendapatkan rizkinya dengan haram dan dengan
kehinaan disisi Allah swt. Intinya rizki kita sudah tertulis disisi
Allah swt, akan tetapi cara kita mendapatkannya itu ikhtiar/pilihan kita
kalau kita ingin mulia, maka kita harus bekerja dengan cara yang
dihalalkan oleh Allah swt. Kalau kita (na’udzubillah mindzalik)bekerja
dengan pekerjaan yang hina atau merampok atau menipu, maka rizki kita
tetap akan sampai kepada kita akan tetapi diiringi dengan dosa dan
kehinaan disisi Allah swt.
Manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah
swt. Jika kita lihat bahwa burung yang buta tidak dilupakan oleh Allah
swt, manusia yang merupakan hamba yang dimuliakan olehNya pasti tidak
akan dilupakanNya. Akan tetapi kita masih sering melupakanNya.
Allah swt berfirman kepada salah satu NabiNya as
(yang kurang lebih isinya seperti ini): “… aku malu tidak memberi
hambaku yang meminta kepadaKu, tapi mengapa hambaku tidak malu
bermaksiat kepadaku.?”
Jadi sudah sepantasnya bagi seluruh manusia untuk
selalu mengingat Allah swt dan melaksanakan hal yang diridhainya dan
menjauhi hal yang dilarangnya.
Langganan:
Komentar (Atom)

