BERANI - AMANAH - PROFESIONAL

SELAMAT DATANG DI BLOG WONG CHERBON

Wejangan

"Berbuatlah Untuk Duniamu Seakan Kau Akan Hidup Selamanya Dan Berbuatlah Untuk Akheratmu Seakan Kau AKan Mati Besok".

Kamis, Maret 22, 2012





SIKAP “TAKFIR” ADALAH AKAR DARI “TERORISME”

Kata « takfir » berasal dari bahasa arab yang artinya mengkafirkan orang. Sikap ini jika diteliti dengan cermat pada para pelaku teror saat ini, merupakan ciri khas yang paling menonjol. Dimana mereka menganggap bahwa teror yang di lakukannya merupakan « perang suci », bahkan label ini di berikan kepada pemerintahan muslimin sekalipun. Hal ini bersumberl dari sebuah keyakinan bahwa siapapun yang tidak melaksanakan hukum Islam maka disebut « kafir », walaupun pemerintahan muslimin itu melaksanakan sholat lima waktu setiap hari, berzakat, berpuasa dan pergi menunaikan ibadah haji sekalipun.

Buku yang menjadi referensi asasi bagi tafir saat ini bertitel « Kafir Tanpa Sadar », ditulis oleh Abdul Qodir bin Abdul Aziz yang diberi kata pengantar oleh Abu Bakar Ba’asyir. Buku ini lebih banyak berfokus pada pembahasan tentang perbedaan antara Iman dan Kekafiran. Inti pembahasannya adalah kewajiban pemerintah untuk menegakkan Hukum Islam secara utuh. Jika kewajiban ini tidak dilaksanakan maka mereka menyebut pemerintahan tersebut sebagai “Kafir”, yang pada gilirannya semua perangkat dibawahnyapun ikut masuk kepada sebutan tersebut dan negaranya diberi nama « Daru Kufrin/negeri kafir » (lihat hal 16-21).

Pada mulanya buku ini membahas dengan cukup teliti tentang beberapa catatan dan ketentuan yang harus ada sebelum vonis « kafir », diantaranya : syarat-syarat vonis kafir, ketidak bolehan adanya penghalang untuk vonis kafir, siapa orang yang layak memvonis kafir, kewajiban untuk dilakukannya istitabah/ajakan untuk bertaubat dan tabayyun/klarifikasi data sebelum dijatuhkannya vonis kafir (lihat hal 102-148).

Namun sangat disayangkan, bahwa catatan dan ketentuan itu diabaikan oleh penulisnya sendiri. Bahkan cenderung menganggap sederhana masalah yang prinsipil dalam beragama ini. Maka tidak heran jika kemudian sang penulis menyalahkan beberapa ulama dunia seperti Muhammad Al-Ghozali, Syekh Nashiruddin al-Albani dll (lihat hal 175-207)

A. Beberapa catatan penting dalam menanggapi buku ini :

Pertama : Diantara hal-hal yang harus dipahami sebagai prinsip terpenting dalam memahami persoalan takfir adalah bahwa hak dalam menerima dan membenarkan keimanan dan kekafiran seseorang adalah hak dan kekuasaan Alloh I semata. Sehingga siapapun yang membahas masalah ini harus menggunakan ketentuan, syarat dan kriteria yang sesuai dengan ilmu yang datang dari Alloh Taala dan Rosul-Nya. Tidak dengan pemikirannya dan selera hawa nafsunya. Karena penyebutan kafir pada seseorang, apabila tidak terbukti, maka akan kembali pada penuduhnya sendiri.

Kedua : Seorang muslim tidak boleh dikafirkan karena perkataannya, perbuatannya atau keyakinannya, kecuali setelah dibuktikan kesalahan yang di pegangnya secara ilmiah. Adapun orang yang berbuat kesalahan, meskipun menurutnya benar, karena ketidaktahuannya maka tidak berhak dicap kafir.

Ketiga : Ada masalah yang sulit dipahami dan dikuasai oleh orang awam apalagi memerlukan tingkat pengetahuan dan keilmuan yang tinggi. Untuk itu sudah tentu dibutuhkan kehati-hatian dalam mempertimbangkan banyak hal ketika akan mengkafirkan seorang muslim yang awam. Karena kebodohan dan keawaman seorang muslim adalah alasan yang sangat kuat dalam menghalangi dikafirkannya seorang muslim.

Keempat : Keberadaan seorang muslim di daerah yang minim terhadap ulama juga perbedaan waktu dan tempat yang jauh dengan pusat ilmu dan ulama, menuntut kita lebih berhati-hati dalam memberi stempel kafir pada seseorang.

Kelima : Situasi dan kondisi yang melingkupi seorang muslim hingga dia melakukan kesalahan, maksiat, bid’ah dan kekafiran pun harus dipertimbangkan, karena Syariat Islam tidaklah mewajibkan manusia untuk dibebani suatu amalan kecuali sekuat kemampuannya.

Keenam : Ayat dan hadits yang berbicara tentang takfir secara umum tidaklah sama maknanya dengan yang berbicara secara khusus. Ini bukan perkara ringan. Mungkin karena kelemahan kita, orang yang di anggap kafir ternyata tidak seperti yang diduga. Hati-hati dan tidak terburu-buru adalah langkah bijak.

Ketujuh : Ahlussunnah wal Jamaah meyakini bahwa kekafiran dan keimanan , syirik dan tauhid , ketaqwaan dan kefasikan , kemunafikan dan keimanan bisa berkumpul bersama-sama dalam diri seseorang.

Kedelapan : Berhukum kepada selain syariat Islam adalah kekafiran yang tidak menyebabkan pelakunya jatuh pada predikat menjadi kafir, kecuali jika terbukti bahwa orang itu meyakini benarnya aturan hukum orang kafir dan menyalahkan syariat Islam.

B. Beberapa catatan ijma‘ Ulama

Telah tersebut ijma’ dikalangan Ulama baik terdahulu maupun kontemporer bahwa orang yang berhukum kepada selain hukum Alloh I itu tdak kafir selagi tidak mengingkari kebenarannya dan tidak menganggap pelanggaran ini boleh dilakukan. Maka menjadi keniscayaan bagi muslimin di zaman ini untuk tidak menentang kesepakatan ini.

Begitu pula telah terjadi ijma’ dikalangan Ulama baik terdahulu maupun kontemporer bahwa orang yang yang berhukum kepada selain hukum Alloh I namun mengingkari kebenarannya dan menganggap pelanggaran ini boleh dilakukan, maka dia telah keluar dari agama Islam dan keluar dari lingkaran keimanan secara total.

Adapun ikhtilaf yang terjadi dikalangan Ulama baik terdahulu maupun kontemporer dalam menyikapi orang yang berhukum kepada selain hukum Alloh I adalah karena sebab-sebab seperti : semata-mata dorongan pelanggaran, tertekan oleh rasa takut, ambisi keduniaan, kesilapan dan kebodohan.

C. Beberapa kaidah penting dalam menyikapi kesalahpahaman dalam masalah takfir :

Kaidah pertama :

Seorang muslim tidak boleh dikafirkan kecuali jika telah dengan nyata mengingkari suatu kebenaran yang harus diyakininya dalam beragama Islam. Atau tidak melakukannya karena pembangkangan, kesombongan dan menantang. Atau menghindarinya karena mengingkarinya, dan atau bertahan dalam keraguan dan kebimbangan tanpa menentukan sikap apapun.

Kaidah kedua :

Kekafiran itu ada dua jenis : 1. kekafiran berupa “keyakinan”, jenis ini bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam secara total. 2. Kekafiran berupa “perbuatan”, jenis ini tidak bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam kecuali jika terbukti ada unsur pengingkaran, penolakan, pelecehan, penghinaan, pembangkangan dan tantangan terhadap kebenaran ajaran Islam . Contohnya : sujud kepada berhala, menghina Al-Qur’an atau membuangnya ke tempat sampah.

Kaidah ketiga :

Tidaklah serta-merta seorang muslim boleh dikafirkan karena perkataannya, perbuatannya dan keyakinannya, kecuali setelah dipaparkan bukti kebenaran dihadapannya, ditumbangkan hujjah-hujjahnya yang salah dan telah terpenuhi syarat-syarat kekafiran padanya serta tidak ada lagi penghalang yang bisa jadi alasan dalam menunda hukum atas kekafirannya.

D. Kesimpulan :

Dari pemaparan di atas terlihat jelas kecerobohan yang dilakukan oleh para pelaku teror. Dimana mereka mengumandangkan perang terhadap orang kafir namun vonis kafir yang mereka jatuhkan tidak berdiri tegak diatas kebenaran ajaran Islam. Padahal mereka mengklaim diri mereka sebagai mujahidin dalam membela Islam dan Muslimin.

Sikap mereka itu bersumber dari beberapa inti kesalahan sebagai berikut :

  1. Mereka memposisikan diri mereka sebagai Hakim yang berhak memvonis kafir atas siapapun, padahal mereka tidak memenuhi syarat untuk itu.
  2. Mereka tidak melakukan pertimbangan yang menyeluruh terhadap keadaan seseorang yang akan divonis kafir.
  3. Memaksakan pemahamannya yang bertentangan dengan ijma’ Ulama dalam memahami ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits. Akibatnya mereka dengan mudahnya mengkafirkan muslimin hanya sekedar bersandar kepada pemahaman mereka yang dangkal.
  4. Semestinya mereka segera merujuk kebenaran ajaran Islam secara teliti dan cermat dengan penguasaan yang menyeluruh atas pemahaman dan pengetahuan para Ulama Ahlussunnah wal Jamaah, sebelum melangkah kepada hal-hal berbahaya, terutama dalam mengkafirkan seorang muslim.
  5. Mestinya ada upaya yang bersifat komprehensif dalam menangani terorisme. Baik preventif maupun kuratif. Tidak sekedar menggunakan pendekatan militeristik, namun juga pendekatan ilmiah dan psikologis humanis serta mengarah kepada akar- akarnya sehingga penanganannya menjadi tuntas.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar